Mahasiswa "Makassar"

Mengapa Suka Rusuh?

Beberapa kawan dari luar Makassar sering bertanya mengapa demonstrasi mahasiswa Makassar suka rusuh? Jawabannya agak susah karena ini adalah fenomena yang terus berulang. Saya mencatat beberapa argumentasi yang sering saya dengar dari banyak orang di Makassar.

Pertama, mahasiswa Makassar punya pemahaman politik yang bagus. Pendidikan politik cukup efektif di kota ini sehingga mahasiswanya punya kesadaran yang tinggi dalam menyikapi fenomena politik. Dalam setiap peristiwa politik, mahasiswa selalu menyikapinya dengan demonstrasi atau nekad ke Jakarta untuk menemui politisi. Kalaupun demo rusuh dan selalu memacetkan jalan, itu disebabkan karena kemiskinan metodologi. Mereka tidak memperkaya dirinya dengan metodologi aksi yang baik, sehingga selalu mengulang-ulang apa yang dilakukan senornya. Kalau bukan tutup jalan, yaa pasti rusuh.

Kedua, demonstrasi mahasiswa Makassar terlampau sering ditunggangi para politisi. Makassar sering jadi tempat pengalihan isu politik. Mungkin argumentasi ini menempatkan mahasiswa sebagai subordinat dari para politisi. Tapi, apa boleh buat, sebab boleh jadi inilah kenyataannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak aktivis yang tiba-tiba saja kaya mendadak, padahal kerjaannya hanya demo saja. Ini adalah simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan politisi. Indikasinya juga nampak pada setiap kali ada demo yang kemudian rusuh, selalu bersamaan waktunya dengan peristiwa politik yang cukup besar, apakah itu pemilu, pilkada, atau momen politik penting. Beberapa tahun lalu, polisi sempat menyerbu kampus UMI dan berujung pada pencopotan Kapolda Sulsel Irjen Yusuf Manggabarani. Semua orang mengaitkan peristiwa itu dengan situasi politik Jakarta yang memanas. Demikian pula saat konflik Ambon. Tiba-tiba Makassar ikut rusuh. Sekarang, demo ini jelas punya kaitan dengan kasus Century yang mulai memanas. Jangan-jangan ini cuma pengalihan isu saja. Entahlah.

Ketiga, fenomena demonstrasi itu bisa ditafsir sebagai tebalnya tembok kekuasaan sehingga aspirasi mahasiswa tidak bisa tersalurkan. Kata seorang kawan, kita harus ribut dulu biar didengar. Kalau demo dilakukan dengan santun, jangan harap akan didengarkan. Meskipun kita punya mekanisme perwakilan seperti DPR, namun tidak berarti aspirasi rakyat akan didengarkan dengan cepat. Buktinya, ada begitu banyak aspirasi yang mengalir begitu saja, tanpa didengarkan. Nah, demo rusuh bisa dilihat sebagai siasat mereka untuk didengarkan. Meskipun demo ini dampaknya sangat disayangkan sebab merugikan banyak pihak, termasuk mahasiswa sendiri.

Keempat, secara kultural, orang-orang di Makassar memang gampang ‘panas’. Di Makassar, saling melirik saja bisa menjadi awal perselisihan yang kemjudian berakhir pada saling tikam. Orang Makassar menjunjung tinggi apa yang disebut siri’ (harga diri). Ia boleh saja tidak punya apapun, namun ia mesti menjaga siri’. Pantas saja jika menonton televisi, berita-berita kriminal dari Makassar selalu mendominasi. Dalam hal demo hari ini, pemicunya adalah pemukulan yang dilakukan polisi. Mahasiswa lalu mengamuk dan menyerbu pos polisi. Selanjutnya konflik menyebar atas nama harga diri (siri’). Sebenarnya, banyak budayawan Bugis-Makassar yang mempertanyakan tafsir siri’ yang menurut mereka salah kaprah itu. “Siri bukan untuk kriminalitas. Siri’ itu harus diarahkan kepada hal yang positif. Misalnya sikap untuk menolak suap atau menolak korupsi,” kata Prof Nurhayati Rahman, budayawan Sulsel, kepada saya dalam banyak kesempatan. Sayangnya, tidak semua berpikir seideal para budayawan.

Kelima, boleh jadi para mahasiswa itu berharap bisa diliput oleh media massa secara luas. Saya sering mendengar cerita para mahasiswa yang menunda demonstrasi hanya gara-gara para jurnalis belum tiba. Mungkin saja mahasiswa itu hendak meniru Presiden SBY yang menunda pidato hanya gara-gara belum datang reporter televisi. Sementara bagi para jurnalis, aksi anarkis adalah lahan berita yang paling cepat tayang. Kata seorang jurnalis televisi, sekali berita kriminal ditayangkan, maka sang jurnalis menerima bayaran Rp 250 ribu. Bayangkan berapa penghasilan jurnalis kalau dalam sehari terdapat 10 kali peristiwa. Di sini terjadi simbiosis mutualisme antara media dan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu memahami watak para pengelola media yang memegang kalimat sakti “Bad news is good news.” Mereka menyajikan good news demi berita yang segera tayang di semua televisi.

Keenam, demonstrasi besar adalah panggung bagi para aktivis untuk tampil. Ini sama dengan kalimat yang dipopulerkan Tukul yakni “Masuk Tivi.” Para mahasiswa itu ibarat seorang peragawati yang melintas di atas catwalk. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang aktivis yang ikut demo, kemudian dipukuli. Media lalu meliput. Beberapa jam berikutnya, sang aktivis itu lalu mengirim sms pada semua keluarganya di kampung. “Tolong liat tivi. Ada berita saya dipukuli. Hebat khan?” Sering pula saya mendengar kisah tentang seorang aktivis yang tiba-tiba tersohor gara-gara memimpin demo dan sempat diwawancarai televisi. Ia jadi terkenal. Politisi dan bupati berebut untuk memasukkannya jadi tim sukses. Ia terkenal karena melewati jalan pintas yakni memimpin massa yang anarkis. Meskipun caranya merugikan banyak orang, tapi sang aktivis itu menuai popularitas.

***

Itu hanya beberapa argumentasi yang sempat saya catat. Terserah, pembaca mau sepakat atau tidak dengan beberapa argumentasi itu. Bagi saya, semakin banyak argumentasi dan asumsi, akan semakin baik untuk mengurai fenomena mengapa mahasiswa Makassar gampang rusuh. Terimakasih.

FENOMENA DEMONSTRASI


Saat ini sebuah nama sudah terdengar tidak asing lagi di telinga kita. Hampir setiap hari media menyediakan berbagai berita mengenai aksi satu ini yang dikenal dengan nama demonstrasi. Demonstrasi dalam bahasa Arab adalah muzhaharah artinya menampakkan. Namun demonstrasi identik dengan kekerasan, terjadinya pengrusakan sarana umum, dan terjadi bentrokan dengan aparat keamanan.

Demonstrasi mulai dikenal kebanyakan orang sejak masa revolusi Perancis (1789) yaitu penentangan kekuasaan absolut raja oleh rakyat, dan revolusi Bolchevix (1917) di Rusia. Saat itu di kepemimpinan Rusia dipegang oleh seorang raja didukung oleh pemuka agama Katolik Yunani (Kristen Ortodox). Aturan dan cara hidup diatur dibawah kepemimpinan raja dengan otoriter dan sewenang-wenang. Yang mempunyai kekayaan berkuasa sehingga semakin kaya, sedangkan si miskin semakin miskin karena telah tercipta jurang perbedaan besar oleh sistem feodal. Dalam sistem inilah yang memungkinkan mereka (raja/tuan tanah) untuk membuat aturan sendiri untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut logika tidak mungkin jika seseorang membuat aturan hukum untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat (termasuk pembuat aturan), kemudian malah merugikan diri sendiri sebagai penguasa, pastilah kebijakan yang dikeluarkan tersebut banyak menguntungkan diri. Karena sudah menjadi sifat (naluri) yang melekat pada manusia yaitu untuk mempertahankan eksistensi sebagai manusia.

Ketika masalah semakin besar yang ditimbulkan oleh sistem yang berpusat pada keuntungan tuan tanah (pemilik modal) ini, turunlah ribuan orang manusia ke jalanan (demonstrasi) menghendaki perubahan dan terjadilah revolusi fisik yang digerakkan oleh para pemikir didukung mayoritas masyarakat tertindas. Revolusi ini telah menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Revolusi fisik adalah metode atau cara baku yang dipakai oleh ideologi sosialis/komunis untuk membuat perubahan, maka tidaklah aneh jika revolusi ini selalu diikuti oleh peristiwa berdarah-darah.

Berbeda dengan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah SAW bersifat revolusi pemikiran, yang dilakukan adalah perubahan mendasar pada masyarakat dan negara tanpa kekerasan. Di tengah masyarakat jahiliyah waktu itu ditanamkan pemikiran mendasar yang sahih mengenai konsep kehidupan (aqidah), dari mana manusia berasal, untuk apa hidup di dunia dan akan ke mana setelah mati. Sehingga dari konsep yang menyeluruh (kulliyah) tersebut mengubah pandangan masyarakat Arab jahiliyah yang tidak beradab menjadi pandangan yang jauh ke depan, bukan hanya mendunia tapi juga meng-akhirat. Masyarakat Arab bersatu dengan bangsa lainnya menjadi umat yang satu (ummatan wahidatan), mengalami kegemilangan di urusan dunia tanpa melupakan urusan akhirat. Persaudaraan dan persatuan mereka diikat dalam Daulah Khilafah, tidak terhalangi masalah kebangsaan, batas negara, warna kulit, gender dan suku tetapi disatukan oleh aqidah.

Di dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika ia tidak mampu hendaklah ia ubah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka hendaklah ia ubah dengan hatinya, namun hal itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim). Dan dalam Al-Quran dikatakan hendaklah ada sebagian umat menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (QS. Ali Imran 104). Teknik (cara tidak baku) akan menyampaikan pesan banyak caranya, dari mulai media cetak, elektronik dan jaringan global internet. Bahkan dikatakan sama pahalanya dengan penghulu para syuhada jika menyampaikan kebenaran langsung kepada penguasa dan ia mati karenanya (Al-Hadits).

Cara teknis Islami lainnya adalah penyampaian melalui tarhib/masiroh (pawai damai) tanpa kekerasan yang berbeda dengan demonstrasi. Tarhib/masiroh dilaksanakan tanpa mengganggu kepentingan umum seperti tidak terganggunya pemakai jalan, tertib dan diniatkan hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Tarhib/mashirah di dalam Islam intinya adalah dakwah dalam rangka mengajak kepada ma’ruf dan mencegah keburukan.

Kewajiban berdakwah tidak hanya dibebankan kepada kyai atau ulama saja tetapi juga menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) sesuai kemampuannya. Jika berdakwah tidak lagi dilaksanakan maka kejahatan akan semakin merajalela, seperti tersebarnya AIDS akibat legalisasi pelacuran, hancurnya tatanan sosial masyarakat akibat perjudian, menurunnya pendidikan masyarakat akibat swastanisasi lembaga pendidikan dan dikuasainya sumberdaya alam oleh asing. Maka adzab Allah akan datang tidak hanya menimpa orang-orang zalim tetapi juga kepada orang beriman.

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(QS. Al Anfal 25).

Rasul pun memberikan peringatan kepada kita.

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ عَلَيْكُمْ شِرَارُكُمْ فَيَدْعُوْا خِيَارُكُمْ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ

"Hendaklah kalian benar-benar menyuruh perbuatan yang ma’ruf dan benar-benar melarang perbuatan yang munkar, atau (bila tidak kalian lakukan) Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas kalian semua (yang akibatnya banyak sekali kejahatan dan kemungkaran diperbuatnya) lalu orang-orang yang baik di antara kalian berdoa (agar kejahatan dan kemungkaran itu hilang) maka doa mereka (orang-orang baik itu) tidak diterima” (HR. Al Bazzar dan At Thabrani).

Jadi jelaslah, tarhib sebagai salah satu jalan dalam berdakwah merupakan sesuatu yang berarti di tengah-tengah masyarakat. Bukan semata-mata kegiatan tanpa makna yang diartikan sebagian orang sebagai kegiatan sia-sia. Tapi merupakan salah satu amal dakwah yang diharapkan bisa merubah pola pikir dan opini yang salah di tengah-tengah umat.

Wallahu a’lam bishawab.

VISITOR

Chat

Followers

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "