KONFLIK SEMENANJUNG KOREA

"Kalau kami kalah, saya akan hancurkan dunia" (Kim Jong Il, pemimpin tertinggi Korea Utara. "Nuclear Showdown:North Korea Takes on the World", Gordon G Chang, 2005).


Empat tahun silam, tepatnya Senin, 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan uji peledakan nuklir untuk pertama kalinya. Dengan uji tersebut, Korut menjadi negara kedelapan yang menyatakan diri sebagai negara nuklir setelah Amerika Serikat (1945), Rusia (1949), Inggris (1952), Perancis (1960), RRC (1964), India (1974), dan Pakistan (1998). Israel diyakini memiliki sekitar 200 senjata nuklir, tetapi itu tak pernah dinyatakan secara terbuka.

Kita ingat, reaksi dunia atas uji nuklir Korut itu amat hebat. Nuklir Korut telah mengguncangkan keseimbangan di Asia Timur. Waktu itu tebersit kekhawatiran, bagaimana kalau Jepang dan Korea Selatan lalu mengikuti jejak Korut?

Memang saat itu muncul perkiraan, daya ledakan nuklir Korut lebih rendah dibandingkan dengan uji nuklir pertama negara lain, yaitu 1 kiloton atau kurang. Padahal, biasanya uji nuklir pertama menghasilkan daya ledak 10 kiloton-60 kiloton. (NYT Online, 10/10/2006)

Selain masalah daya ledak, Korut juga masih perlu mengubah bom yang dapat diledakkan menjadi hulu ledak untuk dipasang di pucuk rudal kebanggaan mereka yang bernama Taepodong.

Meskipun jalan panjang masih harus dilalui Korut untuk menyempurnakan sistem senjata nuklirnya, yang sudah diperlihatkan negara ini kepada dunia amat menggentarkan, Jepang dan Korsel adalah dua negara yang paling cemas dengan situasi ini.

Dalam situasi keseimbangan kekuatan yang berubah inilah, tanpa diduga-duga, Selasa (23/11/2010), Korut menembakkan artileri ke Pulau Yeonpyeong ketika Korsel melakukan latihan militer tahunan yang diikuti oleh 70.000 pasukan. Serangan yang menewaskan dua tentara Korsel ini tak ayal lagi memicu baku tembak dalam salah satu bentrok paling serius antara dua musuh bebuyutan ini dalam puluhan tahun terakhir.

Dari pihak Korsel, Korut bukan sekali ini saja memprovokasi. Beberapa tahun terakhir provokasi Korut, termasuk dua kali uji nuklir, beberapa kali uji peluncuran rudal, serta penenggelaman sebuah kapal perang Korsel pada Maret silam yang menewaskan 46 pelautnya.

Sebaliknya, pihak Korut berpandangan bahwa latihan militer Korsel merupakan simulasi invasi Selatan ke Utara, dan ”satu cara untuk memprovokasi perang”. Menurut Korut, latihan tersebut melibatkan sejumlah kekuatan AS meskipun hal ini dibantah oleh Korsel.

Yeonpyeong yang terletak 3 kilometer dari garis batas utara (ini batas laut yang tidak diakui oleh Korut), dan hanya 12 km dari pantai Korut, kini menjadi pangkalan sekitar 1.000 marinir Korut. Angkatan Laut Korsel sudah mengoperasikan kapal ”patroli pembunuh” kelas terbaru yang dilengkapi dengan rudal di Laut Barat, atau yang juga dikenal sebagai Laut Kuning. (IHT, 24/11/2010)

Menyusul insiden provokasi di atas, kuasa-kuasa besar yang aktif mengupayakan perdamaian di Semenanjung Korea lalu menyerukan agar konflik diselesaikan secara nonmiliter, dan Korut mau kembali ke meja perundingan enam pihak yang memfokuskan diri pada upaya denuklirisasi di Semenanjung.

Namun, seiring dengan itu, AS segera mengirimkan gugus kapal induk George Washington dari pangkalannya di selatan Tokyo, Rabu lalu. Kapal induk bertenaga nuklir yang mengangkut lebih dari 75 pesawat dan 6.000 awak ini akan bergabung dengan latihan militer Korsel hingga Rabu pekan depan.

Ancaman nuklir


Di luar penembakan artileri, yang tentu amat mengkhawatirkan adalah eskalasi yang bisa memicu ancaman Kim Jong Il di awal tulisan ini.

Selain kecanggihan teknologi alat utama sistem senjata, kemakmuran Korsel memungkinkan disediakannya latihan lebih memadai.

Kondisi yang tidak simetri ini dengan cerdik coba dijungkirkan Korut dengan mengembangkan kemampuan nuklir dan rudal. Untuk nuklir, Korut terbukti punya program penyempurnaan dan perluasan. Guru besar Universitas Stanford Siegfried S Hecker, yang mengunjungi Korut, melihat dengan mata kepala sendiri adanya fasilitas modern untuk pengayaan nuklir.

Adapun untuk rudal, sejak tahun 2006 Korut telah menguasai rekayasa rudal. Berbasis rudal Scud buatan Rusia, Korut telah berhasil mengembangkan rudal balistik jarak pendek, jarak sedang (Nodong), dan jarak jauh (Taepodong).

Butuh pengakuan

Meski serangan artileri ke Pulau Yeonpyeong merupakan provokasi yang mencemaskan, sebagian pengamat tidak yakin bahwa itu merupakan langkah serius Korut untuk melancarkan perang besar-besaran.

Seperti telah terjadi sebelum ini, setiap kali punya keinginan tersembunyi, penguasa Korut yang masih bercorak Stalinis ini lalu membuat move militer yang mengagetkan. Kali ini pun provokasi dikaitkan dengan masih acuhnya AS terhadap Korut.

Kemungkinan kedua, langkah Korut kali ini dimaksudkan untuk mengamankan proses suksesi dari Kim Jong Il ke Kim Jong Un, yang bagaimanapun mengandung potensi instabilitas di dalam negeri Korut.

Dengan pengerahan armada kapal induk, kombinasi AS-Korsel secara militer telah menjadi Goliath menghadapi David (Korut) yang kecil. Ini pun pola asimetri yang kini juga sering dijumpai dalam konflik modern. (Lihat The Sling and the Stone–On War in the 21st Century, Col Thomas Hammes, 2006)

Akan tetapi, lebih dari situasi asimetris, respons ”mengerahkan otot lebih besar untuk menggentarkan lawan” yang mungkin justru tak diharapkan oleh Korut inilah yang secara psikologis bisa memicu frustrasi Korut yang lebih serius. (IHT, 25/11/2010)

Dalam hal ini, sebetulnya yang paling terancam adalah Korsel.

Jangan Beri Mereka "Handphone"

Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.

Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia menunjukkan, memilikihandphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia mendekam di penjara Uni Emirat Arab (UEA) karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan, melalui handphone (ponsel).

Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.

Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.

Pembedaan

Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.

Di rumah aman KBRI Abu Dhabi, setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.

Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.

Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.

Relasi ras, kelas, jender

Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.

Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).

Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.

Ekonomi global

Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan.

Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang berpotensi menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.

Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.

Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.

Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.

*Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.


Des Alwi untuk Negeri


Kamera film 16 mm merk Bell+Howell itu sudah lama tak digunakan pemiliknya. Produk Buatan Amerika itu pensiun seiring lahirnya kamera-kamera generasi baru yang makin bagus.

Kini, Bell+Howell itu tak akan lagi diseka oleh pemiliknya atau sekedar dipandangi untuk bernostalgia. Des Alwi Abubakar, sang pembuat film dokumenter, diplomat, pengusaha, sejarawan dan penulis buku itu pergi untuk selamanya.

Des Alwi, kelahiran Banda Naira, 17 November 1927, tutup usia karena sakit pada 12 November 2010. Dia meninggalkan berbagai karya berharga untuk negeri ini, terutama dokumentasi Indonesia yang baru lahir.

Pemimpin PT. Avisarti Film Corporation itu dengan tekun mencari cuplikan atau merekam sendiri kejadian-kejadian saat Indonesia tertatih-tatih dari kelahirannya.

Dokumentasi terlama yang ada adalah cuplikan film dari tahun 1925. "Mungkin sekitar 40 film dokumenter," kata Malik Zakaria dari bagian arsip Avisarti. Des, sampai satu bulan sebelum akhir hayatnya, masih datang ke perusahaan itu untuk melihat-lihat koleksinya dan mengedit. "Tak lama setelah itu pak Des operasi jantung."

Kepergian Des juga membuat peringatan Hari Pahlawan, khususnya di Surabaya, ada yang "kurang". Des, yang aktif di Yayasan 10 November, biasa berangkat ke Surabaya menjelang 10 November khusus untuk memutar film dokumenter tentang perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Tokoh Kepulauan Banda yang juga pejuang kemerdekaan itu sepanjang hidupnya "men-shoot" berbagai peristiwa politik maupun budaya dan kejadian alam hingga terkumpul 9 kilometer pita seluloid, 4 kilometer di antaranya tentang Bung Karno dan Bung Hatta.

Kedekatan Des dengan para tokoh kemerdekaan tersebut tidak lepas dari masa kecilnya membantu Bung Hatta dan Sutan Syahrir saat mereka dibuang oleh Belanda ke Banda.

Des yang saat itu kelas dua ELS (sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda), melihat para tokoh kemerdekaan itu datang dari kapal, dan hingga enam tahun kemudian, dia mengantar surat-surat untuk keduanya.

Des kerap menonton koleksinya lalu membuat rangkaian tersebut menjadi karya dengan tema tertentu, misalnya Perang 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, perjuangan di Kerawang dan Bekasi.

Pada suatu acara pemutaran beberapa tahun lalu, dia membawa dokumenter hitam-putih. Saat film diputar, tampak seorang laki-laki tua berkaus putih, dengan ramah membagikan belasan dasi kepada sekelompok wartawan. Peristiwanya terjadi di suatu siang akhir Januari 1967 di Istana Merdeka.

Satu persatu para wartawan yang tampak akrab dengan sosok tersebut menerima dasi yang mendadak jadi cindera mata perpisahan.

Beberapa saat sebelumnya, sang pemilik dasi, Bung Karno, menerima surat perintah pengosongan istana, tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.

Wajah proklamator terekam sedang berusaha menyembunyikan emosi dengan tebaran senyum, saat selesai membaca surat pengusiran.

Dokumentasi itu diambil ketika sang tuan rumah sedang bersiap meninggalkan istana, tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir. "Begitu selesai baca surat, dia bersiap keluar hari itu juga. Lihat, dia bahkan tidak perlu bawa apa-apa," kata Des kala pemutaran tersebut. Dia secara langsung memberikan narasi di film.

Kamera terus mengikuti Bung Karno yang sudah berganti dengan pakaian kebesaran, berada di sedan kenegaraan menuju helikopter yang parkir di Monas.

Perjalanan ke Istana Bogor itu menjadi penerbangan kepresidenan yang terakhir bagi Soekarno. "Begitu sampai ke Istana Bogor, beliau sudah jadi tahanan rumah, Dia tidak boleh lagi ditemui, kami juga dilarang mengambil gambar, jadi tidak ada gambar tentang suasana rumah dan saat-saat terakhirnya," kata Des. Dia tak memberi judul untuk kumpulan cuplikan tersebut.

Di film tersebut penonton dapat menyaksikan sosok Bung Karno saat bercengkrama dengan anak-anak pegawai istana. Dengan semangat, proklamator itu memimpin baris-berbaris atau menyanyi bersama.

Adegan manusiawi lainnya adalah ketika Bung Karno yang sedang "mudah tertawa" dikelilingi wartawan. Kamera dengan jarak "medium close up" terus merekam kerumunan wartawan yang bertanya jawab dengan Sang Pemimpin Besar Revolusi.

Seorang wartawan Radio Hilversum bertanya jawab dalam bahasa Belanda, dan seorang wartawan Indonesia dengan malu-malu berkata 'bisa terjemahkan pak?' yang dijawab Bung Karno "artinya itu... 'go to hell' ha..ha..ha..."

Adegan lain, ketika rokoknya habis, Bung Karno segera merogoh saku baju wartawan di depannya dan dengan santai mengambil sebungkus rokok lalu mencoba rokok putih sang wartawan. "Enak juga rokokmu."

Des juga mendapatkan gambar Bung Hatta yang sempat lupa memyambut uluran tangan Ratu Juliana, saat pengakuan Kedaulatan Indonesia di Den Haag. Kata Des, Bung Hatta mengaku sangat gugup sehingga lupa berjabat tangan.

Penghargaan
Film-film Des hanya tampil pada momen tertentu, yaitu ketika festival, reuni pejuang ataupun ketika Haul Bung Karno. Kecintaan membuat film dimulai ketika Des menjadi atase pers/kebudayaan RI di Bern (1952), kemudian Austria (1956) dan Filipina (1957).

Des juga pernah memproduksi film fiksi yaitu Tanah Gersang (1971) , Cucu (1973) dan 0013 (1974-75) yang cukup sukses di bioskop, tapi film dokumenter tetap "cinta mati"nya.

Dia melanjutkan membuat film "Dokumentasi Ambon Manise" yang meraih penghargaan di Asia Film Festival 1975, "Mimpi Menjadi Gubernur Sehari" (1977) serta "The Green Gold" yang mendapat penghargaan lembaga internasional untuk kelestarian satwa, WWF.

Dalam suatu wawancara beberapa waktu lalu, Des mengaku masih tergerak mengumpulkan film dokumenter tentang Indonesia karena ternyata tidak banyak pihak yang peduli dengan sejarah republik ini.

Satu yang menjadi kebanggaannya adalah dokumentasi yang berhasil dia dapatkan ketika Bung Karno ditangkap tentara Belanda saat perang kemerdekaan. Dia juga mengaku beruntung dapat mendokumentasikan saat-saat pertama Indonesia membangun Timor Timur. Indonesia datang membawa alat-alat berat untuk membuka daerah terisolasi. Timor Timur ketika itu hanya memiliki 7 SD, 3 SMP dan 1 SMA.

Koleksi Des juga sering diaku milik orang lain. Ketika Des memutar filmnya di suatu festival film di Jakarta tahun 2005, dalam sesi tanya jawab seorang yang mengaku associate producer suatu stasiun TV di Australia mengklaim film tersebut milik organisasinya.

"Yang begini sudah sering. Saya tinggal tanya, apa anda punya negatif filmnya? pasti tidak, soalnya negatifnya cuma saya yang pegang, artinya itu memang film saya," balas Des. Si penanya tak menimpali.

Ketika itu, Des juga mengatakan belum percaya pada pihak lain untuk menyimpan gulungan-gulungan film tersebut. Dia punya harapan, ada "anak bangsa" yang mau merawat koleksinya tersebut sebagai bukti sejarah Indonesia.

"Ada orang luar negeri ada yang nawar semua koleksi saya seharga 3 juta Dollar AS, tapi saya tidak mau. Bagaimana perasaan anda kalau sejarah bangsa ini justru ada di luar negeri," kata Des. Pertanyaan yang sudah beberapa tahun itu seolah masih tergiang.



In Memoriam Des Alwi

Raja Banda tidak resmi itu sudah tak ada lagi. Subuh, Jumat, 12 November 2010, seorang diri di kamar tidurnya di rumah di daerah Permata Hijau dia diam-diam berangkat menghadap Al Khalik. Putrinya, Tanyia, mendapatkan dia tiada lagi bernapas.

Pukul sembilan pagi saya tatap wajahnya yang memancarkan kedamaian. Terbaring di ranjang sederhana. Belum sempat dibenahi jenazahnya. Terakhir bertemu dengan dia di rumah saya tanggal 5 September 2010 pada hari meninggalnya istri saya, Ida Sanawi (1923-2010).

Dia sahabat sangat dekat dengan Ida yang kini disusulnya. Dia adalah Des Alwi (17 November 1927-12 November 2010) yang beberapa hari sebelum tutup usia meninggalkan amanah, bila meninggal bawa dia ke Banda Neira.

”Raja Banda” meminta supaya dikuburkan di Banda walaupun berhak dimakamkan di Kalibata sebagai pemegang anugerah Bintang Mahaputra.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad telah datang ke kamar tempat Des masih dibaringkan, berunding dengan pihak keluarga mengenai pengangkutan jenazah dengan pesawat terbang ke Banda dan pemakaman ”Raja Banda” atas tanggungan negara. Fadel segera akan melaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Des Alwi telah memahami operasi bedah jantung di Jakarta. Keadaan jantungnya membaik, penyakit ginjalnya yang sedang dirawat dapat diatasi, tapi paru-parunya belum bekerja bagus. Karena menganggap dirinya sudah cukup pulih, Des minta pulang saja. Akhirnya ajalnya sampai juga. Dari Tuhan kita berasal, kepada Tuhan kita kembali.

Anak angkat Hatta-Sjahrir

Riwayat hidup Des Alwi telah banyak diceritakannya sendiri dalam pelbagai buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Dalam kolom singkat obituari ini tidak akan dirinci sejarah Des Alwi. Saya hanya akan melukiskan selayang pandang arti tokoh yang unik ini.

Sebagai bocah belum genap berusia 10 tahun, Des bertemu di kade pelabuhan Banda dengan dua orang tahanan politik yang baru tiba dari Boven Digul, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka bertanya apakah Des tahu kediaman Dr Tjipto Mangunkusumo yang dibuang oleh Belanda ke Banda Neira dari 1930 hingga 1941.

Des menjawab tahu, juga tahu rumah Mr Iwa Kusuma Sumantri, tahanan politik yang lain. Semenjak 11 Februari 1936 itu kehidupan Des Alwi berubah sama sekali dan dia mencapai hal-hal yang tidak termimpikan sebelumnya.

Des memperoleh kesempatan pendidikan lebih bagus, diajar di sekolah privat yang dipimpin oleh Hatta dan Sjahrir. Des dan adik-adik perempuannya belajar bahasa Belanda yang lebih mantap. Des melalui proses osmosis menyerap pengetahuan politik, menjadi sadar akan perjuangan nasionalis untuk mencapai Indonesia merdeka.

Di Zaman pendudukan Jepang, Des Tinggal di Jakarta, selalu bagaikan di bawah sayap perlindungan Hatta dan Sjahrir.

Yang satu membayar uang sekolah Des, yang lain menyediakan pemondokan bagi Des bersama adik perempuannya.

Des dikenal sebagai ”anak angkat” Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Kendati tidak mengikuti pendidikan secara formal, Des belajar banyak. Dia mendengar orang berdiskusi. Melihat orang melakukan aksi politik ”di bawah tanah” menentang Jepang.

Dan pada saat tiba revolusi dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Des, walau masih remaja, siap turut berjuang mempertahankan Merah Putih, Indonesia raya, dan Pancasila.

Des kemudian dapat kesempatan belajar di Inggris mengikuti pendidikan teknik. Di London, dia berkenalan dengan mahasiswa Melayu seperti Tunku Abdul Rahman dan Tun Abdul Razak, yang kelak jadi PM Malaysia.

Kembali ke Indonesia dia bekerja di Kementerian Luar Negeri. Dia menikah dengan Ann, gadis Manado. Dia jadi diplomat sebagai Atase Penerangan RI di Swiss dan Manila. Dia bergabung dengan gerakan PRRI-Permesta karena tidak bisa menyetujui politik Nasakom Presiden Soekarno. Dia muncul sebagai perantara untuk menghentikan aksi ganyang Malaysia yang dirintis diam-diam oleh Jenderal Soeharto.

Terjun ke bisnis

Soekarno jatuh. Des Alwi bisa balik ke Tanah Air sebagai orang bermartabat. Dia menceburkan diri dalam bisnis. Meskipun tidak kaya raya seperti taipan dari konglomerat, Des Alwi bertekad dengan modal sendiri membangun Banda Neira, menciptakan aktivitas ekonomi yang lebih menguntungkan seperti pariwisata, mengingat Banda Neira kaya dengan kecantikan lingkungan dan keajaiban terumbu di dasar.

Des Alwi punya satu modal sangat berharga. Dia pandai bergurau dengan orang, dia pribadi menyenangkan, walaupun tidak belajar khusus dia adalah empu humas atau master PR yang sangat baik. Karena itu dia berhasil meletakkan Banda Neira di peta bumi pariwisata dunia.

Tokoh-tokoh seleb seperti Pangeran Bernard dari Nederland, Princess of Wales, dan lain-lain datang berlibur ke Banda, yang kini berkat usaha Des tercatat sebagai destinasi turis. Des punya hobi membeli film-film dokumenter tentang perjuangan Indonesia di zaman revolusi dari berbagai sumber di dalam maupun di luar negeri.

Koleksinya banyak dan merupakan harta budaya yang tidak kecil artinya bagi pembelajaran sejarah dan mendidik generasi muda untuk menghayati nilai-nilai perjuangan dan idealisme bangsa Indonesia.

Sebagai manusia biasa, Des Alwi tentu pula ada kelemahan dan kekurangannya. Tapi dalam satu hal dia bertaat asas dan konsisten. Dia menciptakan agar bangsa dan negara kita ini dibina oleh para pemimpinnya dengan semangat ketulusan dan keadilan, bebas dari feodalisme dan totaliteris dengan sikap betul-betul merakyat dan tidak satu saat pun melupakan kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani serta rohani segenap penduduknya.

Dari Banda, Indonesia Bermula

Pemandangan di depan dermaga Pelabuhan Banda Naira itu mengingatkan akan kejayaan Banda masa silam. Jauh sebelum republik ini berdiri, Banda telah menjadi surga bagi bangsa-bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Inggris, dan Belanda bergantian buang sauh di Banda Naira untuk mengenyam alam Banda yang subur dan elok itu.

Kehangatan dan aroma khas pala (Myristica fragrans) Banda yang tumbuh subur di tanah vulkanik sulit ditemukan di belahan dunia mana pun. Kala itu, biji dan fuli (bunga) pala sangat dibutuhkan sebagai bahan pengawet, penyedap, parfum, dan kosmetik.

Portugis, Inggris, dan Belanda berebut dan bergantian menguasai gugusan pulau yang terletak di tengah Laut Banda, Maluku- berjarak 116 mil (186 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala yang harganya lebih mahal daripada emas kala itudigunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam.

Kokohnya imperialisme Belanda di Banda ditandai dengan berdirinya benteng, gedung perkantoran, istana, dan rumah- rumah bergaya Eropa. Belanda bahkan memindahkan pengasingan Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel, Papua, ke Banda Naira tahun 1936-1942. Tokoh pergerakan nasional lain, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri juga diasingkan di sini.

Rumah tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir itu kini menjadi museum. Ranjang besi dengan kelambu putih serta kursi kayu dan papan tulis tempat Hatta mengajar anak-anak tiap sore masih utuh tersimpan. Mesin tik Hatta dan gramofon milik Sjahrir masih tersimpan apik.

Di situlah Hatta dan Sjahrir menyemai nasionalisme dan rasa cinta Tanah Air kepada anak-anak Banda, termasuk kepada anak-anak warga pendatang asal Jawa, Sumatera, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan Kalimantan.

Des Alwi yang melewati masa kanak-kanak ketika Hatta danSjahrir diasingkan di Banda mengenang betapa kontrasnya materi pelajaran sekolah pagi yang diterima dari Belanda dengan yang dikenyam saat sore hari.

"Di sekolah pagi, para meneer mengajari kami bahwa Teuku Umar dari Aceh serta Diponegoro dari Jawa sebagai penjahat dan sejarah negeri Belanda disebut sebagai sejarah 'Tanah Air'. Sebaliknya, di sekolah sore, Hatta dan Sjahrir menyebut dua tokoh itu sebagai pemberontak atas penindasan Belanda."

Oleh Des Alwi dan anak-anak sebayanya kala itu, Hatta akrab disapa "Oom Kacamata". Adapun Sjahrir biasa disapa "Oom Rir". "Sosok Hatta itu serius, kutu buku, dan lengket dengan kacamata tebal. Kalau Sjahrir, suka gaul dan suka nyanyi," ujarnya.

Menurut Des Alwi, budaya setempat menegaskan bahwa semua anak yang lahir di Banda otomatis dianggap orang Banda. Tidak terkecuali anak-anak pendatang, termasuk yang berasal dari China dan Arab. "Hatta dan Sjahrir menularkan semangat kebangsaan kepada anak-anak di Banda dalam nuansa pluralisme. Wajar jika muncul ungkapan 'Dari Banda, Indonesia bermula'. Benih Tanah Air berawal dari sini," kata Des Alwi.

Oleh Bung Hatta, Banda disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebanyak 25.000 warga Banda yang saat ini tinggal di tujuh kampung adat di Banda merupakan keturunan campuran dari etnis-etnis yang pernah bermukim di Banda: Portugis, Belanda, Inggris, China, Arab, Jawa, Bugis, Buton, dan Ternate. "Beberapa kali pula penjajah menjadikan Banda sebagai tempat pembuangan sejumlah etnis dari pulau lain untuk dipekerjakan di perkebunan pala," kata Awad Senen (73), Kepala Kampung Adat Ratu Naira.

Ragam etnis ini bisa terlihat dengan mudah dari nama mereka. Tahun 1990-an Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, Lady Diana, dan Princess of York Sarah Ferguson pernah tetirah ke Banda. Rupanya, mereka ingin memuja keelokan Banda sambil menapaktilasi petualangan nenek moyang mereka.


Rengasdengklok, Revolusi Yang Tersisih Dari Ingatan Kolektif

Setiap menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Rengasdengklok, kota kecamatan yang terletak 23 kilometer utara kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terus dimunculkan ke dalam ingatan kolektif bangsa.

Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan, 16 Agustus 1945, pemuda dan PembelaTanah Air (Peta) membawa Bung Karno (Soekarno) dan Bung Hatta (Mohammad Hatta) beserta Ny Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Mereka mendesak kedua pemimpin itu agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Seperti ditulis Her Suganda dalam buku Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, di kota kecil ini pada 16 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa penting. Pertama, keberadaan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ny Fatmawati disertai Guntur Soekarnoputra di tempat itu.

Kedua, perebutan kekuasaan oleh masyarakat Rengasdengklok. Atas peran tokoh pemuda dan Peta pula, bendera Merah Putih dikibarkan mengganti bendera Jepang, Hinomaru, yang sebelumnya berkibar di halaman Kewedanaan Rengasdengklok pada hari yang sama. Soncho (camat) Rengasdengklokketika itu, Soejono Hadipranoto, memimpin upacara, diikuti pernyataan kemerdekaan RI.

Pedagang, petani, pegawai, pejabat, dan warga sipil lain di Rengasdengklok terlibat dalam aksi heroik tersebut. Proklamasi boleh jadi dikumandangkan di Jakarta, tetapi aksi Rengasdengklok menginspirasi karena lebih dulu menyatakannya.

Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam pengantarnya di buku itu, menyebut Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dan menurut tata cara yang diatur Jepang.

Peristiwa Rengasdengklok memang menginspirasi kebulatan tekad bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenang peristiwa dan menggelorakan semangat juang pemuda, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewacanakan pembangunan Monumen Rengasdengklok. Wacana telah disampaikan sejak tahun 1990-an, yang kemudian ditindaklanjuti oleh PemerintahKabupaten Karawang dengan menyusun rencana pembangunan tahun 1996.

Namun, hingga hampir 15 tahun sejak direncanakan, monumen belum juga terwujud. Yang terbangun saat ini telah membentuk wajah monumen. Patung empat tangan karya Sidharta Soegijo (almarhum) menjulang setinggi 6 meter dengan lebar dasar 2,4 meter dan terlihat menonjol di kawasan itu.

Bangunan dirancang sebagai lambang empat kekuatan dari empat penjuru angin yang bersatu dan sedang mendobrak dari dalam tanah. Di situ telah terpasang altar ber-paving beton, bambu runcing raksasa, beberapa struktur beton persegi dengan ujung lancip mengelilingi tugu, dua bangunan menyerupai pendapa, serta dinding pagar monumen. Menurut rencana, di sekeliling altar itu diisi relief Peristiwa Rengasdengklok dan detik-detik Kemerdekaan RI 1945.

Hanya beberapa meter jauhnya dari lokasi Monumen Rengasdengklok, berdiri Tugu Kebulatan Tekad, yang dibangunsecara swadaya oleh masyarakat setempat tahun 1950.

Wedana Rengasdengklok Sutadiredja dan Camat M Abdullah menggagas pembangunan tugu untuk memperingati Peristiwa Rengasdengklok dengan menggalang dana penjualan kartu pos dan sumbangan masyarakat. Biaya pembangunannya Rp 17.500 dan diresmikan oleh Hatta pada peringatan Hari Kemerdekaan Ke-5 RI. Tugu ini jauh lebih sederhana ketimbang Monumen Rengasdengklok. Bangunannya lantai berundak lima, badan tugu, dan puncak berupa kepalan tangan kiri.

Rumah milik Djiauw Kie Siong-tempat singgah Bung Karno dan Bung Hatta-masih berdiri, melengkapi Rengasdengklok sebagai sebuah situs sejarah. Bangunan berukuran 10 meter x 40 meter itu berjarak sekitar 100 meter dari sisi Sungai Citarum. Lokasi rumah asli sudah tergerus sungai pembatas alam Kabupaten Karawang dan Bekasi. Rumah kayu itu kini ditempati generasi ketiga keluarga Djiauw. Sebagian bangunannya terancam rusak dimakan usia.

Peninggalan lain yang tersisa adalah Gedong Jangkung, gedung tertinggi bekas salah satu markas tentara Belanda di Rengasdengklok. Gedung itu jadi sarang burung walet.

Sepenggal puisi berjudul Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seolah mewakili harapan Arsim Kasman, Suherman, juga pelaku, saksi, dan pemerhati sejarah lain. Penggalan puisi itu tertulis di Monumen Suroto Kunto di daerah Warungbambu, Karawang Timur. Puisi yang sama tertera di sudut Monumen Perjuangan Rawagede di Balongsari, Rawamerta:

Kami yang kini terbaring antara Karawang Bekasi tidak bisa teriak "merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami terbayang kami maju dan berdegup hati? Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu Kenang kenanglah kami..

ada bencana ada pengemis

Setiap kali ada bencana, skala lokal maupun nasional, selalu ada aktivitas sosial yang menunjukkan solidaritas untuk mengentaskan. Ini menandai kebersamaan, juga dalam bentuk keprihatinan, yang baik dan benar serta mulia.

Masyarakat mengambil langkah bergegas, jelas, nyata, tanpa menunggu instruksi dari atas. Bahkan kalau bencana ini berurutan dan berkesinambungan seperti di Wasior, Gunung Merapi, dan Kepulauan Mentawai, seperti yang terjadi sekarang ini. Tapi, juga menimbulkan kesan kurang menyenangkan. Yaitu lahirnya barisan pengemis gadungan yang meminta sumbangan. Mungkin saatnya kita berpikir ulang tentang cara penanganan seperti ini. Mengemis bukan pencitraan dan contoh yang membanggakan, apalagi jika menjadi kebiasaan.

Instan dan Instansi

Tindakan secara instan, secara langsung, merupakan reaksi yang meringkas mata rantai birokrasi atau cara kerja instansi yang memerlukan banyak rapat dan banyak tanda tangan sebelum sampai keputusan dan pelaksanaan. Unsur percepatan waktu sangat diperlukan dalam menanggapi bencana yang selalu dirasa tiba-tiba. Namun, agaknya menjadi tren, menjadi jalan keluar setiap kali— yang memang berulang kali terjadi.

Yaitu dengan mengumpulkan sumbangan secara langsung dari masyarakat di jalan-jalan. Saya merasa kurang sreg, setiap kali menjumpai. Para pengemis gadungan— istilah untuk mereka yang sehari-hari bukan pengemis dan tidak bekerja sebagai pengemis— ini bahkan berani merendahkan diri untuk menjadi pengemis. Mereka ini cukup gagah, kadang dengan jaket mahasiswa, kadang dengan identitas ormas atau sejenis itu, berada di jalan-jalan, terutama dekat jalan masuk tol.

Membawa kotak karton yang ditulisi “sumbangan untuk” dan menyodorkan untuk penderma. Kotak itu terbuka sehingga uang bisa dilemparkan begitu saja. Secara teknis menjadi gangguan karena jalanan menjadi lebih macet,lebih melambat. Secara etis juga menjadi gangguan mata karena wajah-wajah muda bersemangat ini harus bersaing keringat dengan pengemis yang tidak gadungan, yang berbekal kemoceng atau tepuk tangan atau sekadar pamer wajah memelas.

Secara ekonomis juga mudah menimbulkan tanda tanya, bagaimana pertanggung jawabannya mengingat tak ada catatan mendapat berapa dan diteruskan ke mana. Artinya lebih mudah menimbulkan prasangka buruk, dan tidak baik untuk keseimbangan hidup. Secara didaktis, tidak mendidik ke arah yang baik dan cara yang tidak menarik. Seolah membenarkan bahwa mengemis adalah suatu usaha atau kerja bagi yang bisa menemukan cara yang berbeda.

Ini menjadi pertanyaan memprihatinkan mana kala mengemis menjadi pendekatan, menjadi sikap budaya yang kita terima sebagai sesuatu yang biasa atau wajar sehingga bisa terus dilakukan dan dianggap benar. Bukan hanya di kota besar seperti Jakarta, pengemis gadungan dengan seragam dan sikap yang sama juga saya temukan di jalanan di Lampung atau Solo, baik di jalan besar atau jalanan masuk ke kampung.

Ini semacam pembenaran apa yang selama ini sudah berlangsung. Di jalanan yang rusak dan sedang diperbaiki juga ada tanda tidak resmi “sumbangan untuk.” Dengan begitu, menurut cerita, perbaikan sengaja diperlambat agar pengemis gadungan bisa bekerja lebih lama. Cerita semacam ini belum tentu benar walau belum tentu salah.

Instingtif dan Institutif

Dalam skala lebih besar, pengemis gadungan ini bukan lagi mengenakan jaket almamater, melainkan mengenakan dasi dan jas serta simbol bergengsi. Pada titik itu bukan nama perguruan tinggi yang dipertaruhkan, melainkan nama negeri. Yang dalam proses pengawasan, kontrol, atau bahasa populernya akuntabilitas, juga sama bisa dipertanyakan seperti kotak karton yang dijajakan terbuka.

Saya tidak sedang mempertanyakan itu semua. Saya hanya mencoba mengembalikan ke harga diri, mengingatkan banyak pendekatan lain yang mungkin tanpa dicurigai. Misalnya keterlibatan kampus atau organisasi kemasyarakatan dalam mencari dana spontan, apa salahnya dilakukan di halaman dan wilayah kampusnya sendiri-sendiri. Ini lebih benar dalam artian menuntut kepada diri sendiri, dan bukan membawa persoalan ke luar kampus.

Hal yang sama yang sudah berjalan pada beberapa perusahaan atau bahkan perkumpulan arisan untuk kemudian bisa disalurkan melalui lembaga yang dipercaya. Sekarang ini, selain Palang Merah Indonesia, media massa juga telah menunjukkan dan menjadikan wadah penampung dan penyalur secara terbuka.

Media massa sebagai institusi telah berhasil memainkan perannya tanggap bencana bukan dari kepentingan pemberitaan semata. Media massa elektronika seperti televisi dan radio, cetak baik harian atau berkala, telah menimbulkan rasa percaya di masyarakat. Dan mungkin akan lebih kuat, lebih bermanfaat jika—andai saja— secara bersama menyediakan satu nomor rekening saja.

Selain mempermudah ingatan juga sekaligus menunjukkan kebersamaan kepentingan dan mengurangi egoisme pribadi menjadi pengumpul dana spontan terbanyak. Sebaiknya begitu dan bisa begitu. Karena yang terutama dan utama adalah mewadahi solidaritas spontan yang mengagumkan dan masih berharga maknanya. Kita disadarkan bahkan nama-nama penyumbang spontan yang dermawan ini banyak menggunakan nama nn—alias no name, alias tanpa nama—atau sekadar menyebutkan sebagai “hamba Allah”, atau kalaupun pakai inisial adalah inisial yang umum.

Ini semua sebenarnya bukti kuat bahwa sikap instingtif saling membantu masih berlaku dan menjadi sikap budaya kebersamaan. Ini yang harus diuri-uri, dihidupkan, dijaga, dan terus digali ekspresinya. Kebersamaan sebagai satu bangsa bukanlah hanya karena sama-sama pembayar pajak, karena sama-sama bertanda penduduk Indonesia, melainkan juga tetap kebersamaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, setiap kali ada bencana, setiap kali pula diingatkan dan dikuatkan persaudaraan kita. Semua ini tak memerlukan pengemis gadungan yang berada di jalanan.

VISITOR

Chat

Followers

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "