Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan, 16 Agustus 1945, pemuda dan PembelaTanah Air (Peta) membawa Bung Karno (Soekarno) dan Bung Hatta (Mohammad Hatta) beserta Ny Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Mereka mendesak kedua pemimpin itu agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Seperti ditulis Her Suganda dalam buku Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, di kota kecil ini pada 16 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa penting. Pertama, keberadaan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ny Fatmawati disertai Guntur Soekarnoputra di tempat itu.
Kedua, perebutan kekuasaan oleh masyarakat Rengasdengklok. Atas peran tokoh pemuda dan Peta pula, bendera Merah Putih dikibarkan mengganti bendera Jepang, Hinomaru, yang sebelumnya berkibar di halaman Kewedanaan Rengasdengklok pada hari yang sama. Soncho (camat) Rengasdengklokketika itu, Soejono Hadipranoto, memimpin upacara, diikuti pernyataan kemerdekaan RI.
Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam pengantarnya di buku itu, menyebut Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dan menurut tata cara yang diatur Jepang.
Peristiwa Rengasdengklok memang menginspirasi kebulatan tekad bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenang peristiwa dan menggelorakan semangat juang pemuda, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewacanakan pembangunan Monumen Rengasdengklok. Wacana telah disampaikan sejak tahun 1990-an, yang kemudian ditindaklanjuti oleh PemerintahKabupaten Karawang dengan menyusun rencana pembangunan tahun 1996.
Namun, hingga hampir 15 tahun sejak direncanakan, monumen belum juga terwujud. Yang terbangun saat ini telah membentuk wajah monumen. Patung empat tangan karya Sidharta Soegijo (almarhum) menjulang setinggi 6 meter dengan lebar dasar 2,4 meter dan terlihat menonjol di kawasan itu.
Bangunan dirancang sebagai lambang empat kekuatan dari empat penjuru angin yang bersatu dan sedang mendobrak dari dalam tanah. Di situ telah terpasang altar ber-paving beton, bambu runcing raksasa, beberapa struktur beton persegi dengan ujung lancip mengelilingi tugu, dua bangunan menyerupai pendapa, serta dinding pagar monumen. Menurut rencana, di sekeliling altar itu diisi relief Peristiwa Rengasdengklok dan detik-detik Kemerdekaan RI 1945.
Hanya beberapa meter jauhnya dari lokasi Monumen Rengasdengklok, berdiri Tugu Kebulatan Tekad, yang dibangunsecara swadaya oleh masyarakat setempat tahun 1950.
Rumah milik Djiauw Kie Siong-tempat singgah Bung Karno dan Bung Hatta-masih berdiri, melengkapi Rengasdengklok sebagai sebuah situs sejarah. Bangunan berukuran 10 meter x 40 meter itu berjarak sekitar 100 meter dari sisi Sungai Citarum. Lokasi rumah asli sudah tergerus sungai pembatas alam Kabupaten Karawang dan Bekasi. Rumah kayu itu kini ditempati generasi ketiga keluarga Djiauw. Sebagian bangunannya terancam rusak dimakan usia.
Peninggalan lain yang tersisa adalah Gedong Jangkung, gedung tertinggi bekas salah satu markas tentara Belanda di Rengasdengklok. Gedung itu jadi sarang burung walet.
Sepenggal puisi berjudul Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seolah mewakili harapan Arsim Kasman, Suherman, juga pelaku, saksi, dan pemerhati sejarah lain. Penggalan puisi itu tertulis di Monumen Suroto Kunto di daerah Warungbambu, Karawang Timur. Puisi yang sama tertera di sudut Monumen Perjuangan Rawagede di Balongsari, Rawamerta:
Kami yang kini terbaring antara Karawang Bekasi tidak bisa teriak "merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami terbayang kami maju dan berdegup hati? Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu Kenang kenanglah kami..
0 komentar:
Posting Komentar