Mahasiswa Anarkis, Orang Tua Menangis

Beberapa hari belakangan ini, dunia mahasiswa Makassar mengalami pergerakan yang cukup menyita perhatian publik. Mahasiswa Makassar berdemonstrasi memperingati Hari Anti Korupsi. Belum puas dengan itu, mereka melakukan hal sama esoknya, memeringati Hari Hak Asasi Manusia se dunia.

Sudah jamak pula terjadi aksi demonstrasi yang mulanya aman lalu berakhir anarkis. Tindakan perusakan benda dan manusia merupakan ritual lama yang selalu dipertontonkan dengan penuh sikap "ksatria".

Terdapat rasa bangga jika mereka mampu melakukan perusakan sebanyak mungkin objek-objek yang sesungguhnya didanai masyarakat sendiri. Perusakan pos polisi, sepeda motor serta mobil patroli kepolisian, dan traffic light sudah cukup banyak.

Peristiwa ini lagi-lagi melambung tinggikan nama Makassar ke seantero "jagad" sebagai kota di mana frekuensi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa menyisakan derita secara bersama. Mahasiswa, masyarakat, dan aparat keamanan sama-sama merasakan penderitaan.

Namun semua itu, tidak membuat mahasiswa "malu" dengan predikat tersebut. Justru ada kebanggaan tampak di wajah dan mata mereka karena terekam kamera televisi yang dipancarluaskan ke seluruh Indonesia.

Dari pandangan mahasiswa, apa yang mereka lakukan adalah sebuah "pembelaan" kepentingan rakyat dan bangsa ini. Tindakan mereka selalu dikatakan berbau gerakan moral. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri secara internal adalah kelompok mahasiswa yang "bersih" dari segala tingkah laku yang tercela, sehinga berani membersihkan orang atau kelompok lain.

Kalau mereka menutup jalan, membakar ban, bahkan merusak fasilitas umum dan negara dianggap sebuah tindakan yang "suci" bagi perjuangan mahasiswa tidak boleh diberi sanksi hukum. Mahasiswa dapat melakukan apa saja di negeri ini. Mahasiswa tidak dapat dianggap bersalah walaupun melanggar norma dan aturan hukum. Mahasiswa tidak boleh dilukai apalagi ditangkap. Benarkah?

Mari kita lihat bagaimana masyarakat merespons ulah mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di Makassar. Penulis mengutip suara-suara masyarakat lewas SMS Pembaca pada harian FAJAR beberapa waktu lalu. Penulisnya (+6241150538XX) dengan judul "Oknum Mahasiswa Mudah Emosi" mengatakan;

"Saya lihat di televisi ada oknum mahasiswa yang anarkis, seperti saja anak yang tidak berpendidikkan, mudah emosi, tidak layak dikatakan mahasiswa tapi kelakuannya preman."

Begitu pula satu keluhan di koran lainnya dengan penulis Rifky Al-Lail Ismulail: "Mahasiswa sekarang cenderung primitif, bukan lagi sebagai pejuang masyarakat tapi menjadi spesialis anarkis ini karena kesalahan sistem mahasiswa sekarang secara tidak sadar terlibat politik praktis dan tidak sadar bahwa dia sudah masuk sistem yang merusak tata negara, kasihan!!

Apakah tidak ada lagi mahasiswa yang kreatif dan santun akan kewibawaannya sebagai anak bangsa? Ingat jika kita ingin memperjuangkan masyarakat harus dengan cara yang baik dan santun agar nama kita sebagai mahasiswa tidak tercoreng karena peristiwa ini. Hidup Indonesia, Hidup rakyat Indonesia."

Apa yang dikemukakan kedua penulis di atas jika dibaca dengan hati jernih, sesungguhnya memberi penilaian buruk kepada kalangan mahasiswa. Tetapi apakah mahasiswa dapat merasakan kepekaan dari isi tulisan tersebut?

Tampaknya kedua penulis di atas tahu bahwa dalam dunia mahasiswa memang ada juga preman-preman berkeliaran di kampus. Tindakan mereka memang tidak cocok dengan dunia pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang pendidikan di negeri ini.

Lebih tragis lagi kesalahan ini ditimpakan kepada petinggi kampus yang dianggap tidak berhasil "memanusiakan" anak-anak bangsa ini sebagai pribadi yang bermoral baik. Pernyataan ini kita kutip dari penulis SMS Pembaca bernomor +62852996512XX dengan judul: "Pak Rektor, Kenapa Anak Kami Jadi Preman".

Dalam keresahan orang tua itu tertulis: "YTH para rektor, dekan, dan para dosen yang bertugas di Makassar. Kami orang tua mahasiswa yang tinggal di kampung menyampaikan bahwa kami mengirim anak kami ke Makassar menuntut ilmu, tapi setelah kami menonton televisi, ternyata anak kami jadi preman di Makassar.

Anak kami melempari polisi. Jadi, kami mohon kepada rektor, dekan, dan dosen, tolong dididik anak kami ke jalan yang benar, diberi ilmu yang benar, jangan dididik anak kami jadi preman karena bukan itu harapan kami. Kami banting tulang di kampung cari uang untuk bayar kuliah agar anak kami jadi pintar, itu harapan kami. Jangan jadikan anak kami preman. Tolong, tolong Pak Rektor!"

Miris benar hati kita membaca ungkapan perasaan orang tua mahasiswa yang anaknya termasuk "preman" mahasiswa yang selalu anarkis jika demonstrasi. Tetapi adakah mereka yang tergolong "preman" mahasiswa yang menyadari tangisan hati sang orang tuanya di kampung yang bersusah payah menyekolahkan dirinya hingga memperoleh gelar mahasiswa menjadi sadar diri?

Pihak kampus perlu melakukan pendataan terhadap para demonstran yang selalu aktif bersuara lantang akan tujuannya menjadi mahasiswa serta latar belakang orang tuanya. Kasihan orang tua yang membanting tulang dari pagi sampai petang, bahkan hingga malam hari mencari uang untuk anak yang dibanggakannya hingga memeroleh sebutan mahasiswa.

Sang anak ini harus menyadari bahwa begitu banyak orang yang dia sisihkan hanya untuk merebut gelar sebagai mahasiswa. Mestinya kampus yang menyeleksi secara ketat calon mahasiswa dapat berlaku tegas kepada para mahasiswa yang selalu membuat "tercoreng" nama kampus tempat ia kuliah.

Kampus berusaha membangun citra agar terkenal dalam berbagai prestasi keilmuan, ternyata menjadi rusak akibat ulah "preman" mahasiswa yang berlindung atas nama kampus. Hendaknya mereka menunjukkan prestasi yang cemerlang di bidang olahraga, seni, dan keilmuan.

Bukan justru menonjolkan kemerosotan akhlak dan moral sebagai mahasiswa yang menjadi harapan calon pemimpin di masa depan. Kira-kira pemimpin seperti apa yang kita dapat rasakan dari hasil penggodokan yang tidak baik semasa mahasiswa?

Mungkin juga persoalan kemahasiswaan kita mengalami kemerosotan akibat lemahnya sistem pengawasan dan sanksi yang dapat dikenakan kepada para pelanggar aturan. Setiap perguruan tinggi tentunya memiliki aturan tata tertib yang berkaitan pembinaan dunia kemahasiswaan. Namun terkadang, aturannya baik, tetapi penerapannya yang lemah.

Sesungguhnya pembinaan kemahasiswaan yang baik harus diikuti oleh adanya pemahaman yang baik pula secara keseluruhan tentang pedoman dan tata tertib di kampus. Mahasiswa yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran misalnya berkelahi, harus diskorsing. Jika ditemukan mahasiswa yang sampai membawa senjata tajam, minum minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan semacamnya, mesti dipecat tanpa perlu melakukan pembelaan diri.

Persoalan karakter mahasiswa perlu dibina dan ditingkatkan ke arah yang lebih bagus dan terpuji. Bagaimana kampus mau dikatakan baik, jika aturan yang ada dilanggar seenaknya tanpa sanksi jelas dan tegas. Jangan biarkan tangis orang tua menetes sia-sia akibat sang anak yang menyandang gelar mahasiswa selalu berbuat anarkis!

0 komentar:

Posting Komentar

VISITOR

READ THIS :

Chat

Followers

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "