Pajak Warteg Direvisi

Tentangan terhadap pajak restoran dan rumah makan, termasuk warung tegal (warteg) akhirnya memaksa Pemprov dan DPRD DKI Jakarta segera merevisi aturan tersebut. Waktu yang tersisa kurang dari satu bulan. Rencananya pajak ini akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2011 dengan revisi yang lebih matang.

Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda), Triwisaksana menegaskan sebelum akhir tahun harus sudah ada pemberlakukan pajak restoran baru hasil pengkajian ulang antara Pemprov DKI dan DPRD. “Yang jelas sebelum 1 Januari sudah harus ada keputusan,” kata Sani, sapaannya saat ditemui pada Rabu, (8/12).

Sani mengatakan, sudah melakukan pembahasan dan pengkajian ulang, meskipun surat permohonan penundaan perda dari Gubernur DKI Jakarta belum sampai ke tangannya. Pada Senin (6/12) lalu, Fauzi Bowo memutuskan menunda penandatanganan Perda dan akan menyurati Balegda pada Rabu (8/12). “Kami tidak perlu urusan prosedural itu. Kami jalan dari sekarang. Sambil menunggu, kami akan terus kaji,” katanya.

Apalagi keluhan dan keberatan dari masyarakat sangat banyak. Saat ini, yang diperlukan adalah mencari pilihan-pilihan agar usaha kecil tidak dikenakan pajak sampai mereka tumbuh tingkat perekonomiannya. Maka, Sani pun memberikan sejumlah pilihan untuk revisi aturan ini.

Pertama, pembatalan sebagian poin dari pajak restoran. Kedua, pajak restoran tetap dijalankan seperti semula dengan waktu yang ditangguhkan. Ketiga, dilakukan perubahan beberapa poin pajak restoran dengan berbagai penyesuaian termasuk peningkatan omset yang menjadi obyek pajak. Sehingga nantinya pajak restoran tidak akan dikenakan kepada jenis usaha jasa boga berbentuk warung, seperti warung tegal, warung padang, dan warung indomie.

Selain itu, Sani juga melihat kemungkinan perubahan persentase maksimal yang dikenakan. Dalam UU disebutkan batas maksimal pajak sebesar 10 persen. Artinya, ada pilihan untuk tetap memberlakukan pajak, tetapi dengan persentase yang lebih rendah.

Untuk sementara, DPRD memiliki kecenderungan untuk tidak boleh mengenakan pajak terhadap usaha kecil. “Pajak ini bisa dibatalkan, tetapi perlu lihat opsinya karena berkaitan dengan UU,” katanya. Jadi, lanjutnya, pemprov dan DPRD pun tak bisa asal membatalkan peraturan. Apalagi, pemprov dan DPRD harus bisa mengakomodasi antara peraturan yang termaktub dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta keinginan masyarakat.

Dalam UU itu disebutkan warung, kafetaria, dan semua yang menyediakan jasa makanan dan minuman, wajib kena pajak. “Kalau pajak warteg ini berdiri sendiri tentunya akan lebih mudah,” katanya. Dasar pengenaan pajak untuk warung kecil adalah pajak restoran yang sebenarnya sudah berlaku sejak 2003.

Namun, dengan alasan perluasan pajak atau intensifikasi pajak, terjadi perluasan oleh pemprov. Sani mengatakan pada 2003, omzet minimal yang diterapkan Rp 30 juta per tahun. Ketika perluasan pajak dilakukan, pemprov menaikan batasan omzet wajib pajak menjadi Rp 50 juta per tahun.

Sayangnya, saat itu DKI tidak menunjukkan naskah akademik yang lengkap serta menjanjikan sosialisasi kepada pengusaha jasa boga beromzet kecil. Putusan terakhir yang diambil batasannya menjadi Rp 60 juta.

Sani juga menyesalkan ketika peraturan itu disetujui pada April, sosialisasi untuk melihat respon masyarakat justru dilakukan di akhir saat penerapannya akan dilakukan. “Kalau terjadi keberatan di awal persetujuan itu kan bisa segera dievaluasi lebih cepat sehingga 1 Januari bisa beres semua,” katanya.

Sebelumnya, pada Senin, (6/12) sempat dilakukan pertemuan antara perwakilan warteg, Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), dan Paguyuban Masyarakat Tegal, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk menunda penandatanganan Perda Pajak Restoran dan Rumah Makan.

0 komentar:

Posting Komentar

VISITOR

READ THIS :

Chat

Followers

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "