Mahasiswa Makassar di mata Mahasiswa Jawa

Di Malang, suatu ketika digelar sebuah seminar terkait masalah demokrasi di negeri kita. Banyak elemen mahasiswa dari berbagai kota besar turut hadir. Seorang mahasiswa, melihat ada peserta dari Makassar, bertanya:
"Anda dari Makassar?"
"Benar" jawab mahasiswa yang ditanya itu.
"Maaf, saya mau tanya: Apa di universitas-universitas Makassar diberikan mata kuliah tentang demonstrasi?"

Yang ditanya terperangah, lalu tersenyum dan dia nyaris tidak bisa menjawab.
Tentu, kawannya hanya "iseng" melemparkan pertanyaan tersebut. Yang bertanya ini seorang mahasiswa asal Jakarta. Setelah itu, keduanya –dan beberapa mahasiswa lain terlibat akrab dalam perbincangan mengenai demokrasi.

Sebetulnya, pertanyaan mengenai mata kuliah "demonstrasi" mengandung substansi nyata. Pertanyaan itu muncul setelah beberapa tahun "masyarakat Jawa", khususnya masyarakat Jakarta, lebih khusus lagi kalangan intelektual, menyaksikan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang keras, bahkan brutal.

Di Makassar seakan-akan tiada hari tanpa aksi unjuk rasa mahasiswa. Kaum intelektual di Jakarta, termasuk para mahasiswanya, hafal betul lokasi fly-over, warna jaket mahasiswa-mahasiswa Makassar yang langganan demo, nama-nama universitasnya dan lain sebagainya yang terkait dengan demontsrasi.

Ketika mendapat kehormatan memberikan orasi mengenai kebebasan pers pada upacara pelantikan Pengurus Persatuan Wartawa Indonesia cabang Sulawesi Selatan di hotel Grand Clarion, Makasaar, pada 8 Desember yang baru lalu, saya juga menyinggung persoalan aksi-aksi unjuk rasa bernuasa keras dan brutal di Makasaar.

Saya menyatakan keheranan sekaligus tidak paham menyaksikan fenomena politik yang satu ini. Di mata elite Jakarta, khususnya para politikus dan pengamat politik, Makassar menduduki peringkat nomor 1 dilihat dari sudut kekerasan berdemonstrasi, disusul Medan dan Jakarta. Makasaar diplesetkan menjadi "Manusia ka(s) sar".

Sebelumnya, Bandung juga tercatat "kota keras". Nyaris setiap hari ada aksi kekerasan di depan Gedung Sate. Tapi, selama setahun terakhir, Bandung praktis adem-ayem. "Mungkin mereka sudah capek dan kehilangan sponsor," ucap seorang pengamat politik baru-baru ini kepada saya ketika berkunjung ke kota kembang itu.

Apa yang kau cari, wahai mahasiswa? Apakah Anda mengerti esensi demokrasi? Di mana tanggung jawab para pimpinan universitas yang –sebagian– bergelar Profesor dan Doktor dalam membina anak-anak didiknya yang dikatakan calon-calon pemimpin bangsa?

Itulah beberapa pertanyaan kritikal yang kerap dilontarkan banyak intelektual Jakarta menyikapi aksi-aksi kekerasan di Makassar. Kaum intelektual kerap lupa bahwa demonstrasi merupkan wadah ekspresi untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan rakyat kepada pemerintah. Aksi itu sah-sah saja dalam negara yang menjalankan sistem pemerintahan demokrasi.

Namun, jika aksi-aksi dilancarkan dengan menginjak-injak hukum, apalagi merugikan kepentingan umum, Anda berhadapan dengan aparat penegak hukum. Aparat berhak untuk bertindak sekeras apa pun terhadap Anda. Dan jika aparat –khususnya Polri– bertindak represif, itu tidak bertentangan demokrasi.

Tidak! Demokrasi dan penegakan hukum tidak bisa dipisahkan, bahkan terkait erat satu sama lain. Law enforcement sesungguhnya salah satu pilar penting demokrasi. Tanpa hukum, demokrasi menjadi chaos dan liar. Rakyat juga, akhirnya, menjadi pihak yang paling dirugikan.

Menurut teori Aristoteles, democracy is doomed to become tyranny. Sejarah menunjukkan, di banyak negara sedang berkembang, demokrasi bisa berbalik menjadi sistem tirani. Too much freedom bisa membawa situasi kaos. Dan dalam situasi kaos, pihak militer kerap turun tangan, mengambil alih kekuasaan.

Ketika situasi sudah lepas kendali, ketika militer intervensi, rakyat umumnya akan mendukung, sebab rakyat lama-kelamaan juga muak dengan "pesta kebebasan yang gila-gilaan"!

Usai mengikuti acara PWI Sulawesi Selatan, saya sempat berdialog dengan sejumlah intelektual dan seniman Sulawesi Selatan. Mereka, hampir semua, memberitahukan saya bahwa aksi-aksi demo bernuasa violence yang ditayangkan di layar televisi, sebenarnya tidak mencerminkan situasi riil di Makassar.

Dan yang demo-demo itu juga bukan representasi mahasiswa Makassar. Mereka hanya segelintir mahasiswa; bahkan adakalanya yang demo bukan mahasiswa, melainkan "preman" yang menyelusup. Terhadap pemikiran ini, saya jawab: "Apakah Anda hendak menuduh bahwa tontonan di layar kaca televisi tidak lebih rekayasa orang-orang televisi?" Saya ragu.

Saya berorasi di depan lebih dari seratus wartawan pada Rabu, 8 Desember. Esok harinya, terjadi bentrok keras lagi antara mahasiswa dan petugas polisi. Rupanya, mahasiswa merasa kalah, karena ditindas oleh polisi. Esok harinya lagi, Jumat 10 Desember, mahasiswa melancarkan aksi balas dendam. Sebuah pos polisi diserang, diobrak-abrik.

Seorang Polwan menjadi korban aksi brutal. Dua sepeda motor milik polisi dirusak dan dilempar ke selokan. Masih tidak puas. Dua mobil patroli polisi diinjak-injak kapnya. Para pelaku seolah kesetanan, menjerit-jerit ketika merusak mobil patroli polisi itu.

Saya geleng-geleng kepala menyaksikan "drama" ini…… For what? Apa yang kau cari, Palupi? Apa sasaran Anda, anak muda yang beratribut mahasiswa? Teori bahwa "drama" itu tidak riil sesungguhnya, dan tidak mereprentasikan wajah mahasiswa Makassar, saya kira lemah. Yang betul adalah teori social construction of reality.

Memang tidak ada realita murni. Realita sosial selalu dikonstruksikan oleh orang yang melihatnya. Namun, namanya juga realita, ia selalu harus ditopang oleh sejumlah fakta. Faktanya, dua sepeda motor polisi dirusak, dilempar ke comberan. Faktanya, dua mobil patroli polisi diinjak, dirusak. Fakta-fakta ini, jelas, mencerminkan aksi kekerasan

VISITOR

READ THIS :

Chat

Followers

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "